Perjalanan SPLM di Sudan: Dari Pemberontak ke Pemerintah
Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM) dan sayap militernya, Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA), lahir dari kancah konflik berdarah yang bertujuan untuk memutus rantai marginalisasi terhadap rakyat Sudan Selatan. Didirikan pada tahun 1983 oleh tokoh karismatik John Garang, SPLM tidak hanya berjuang untuk meneruskan agenda kolonial Inggris memisahkan Sudan dan Sudan Selatan saat masih resmi menjadi bagian dari Mesir dan Ottoman, tetapi juga untuk mewujudkan visi utopisnya: sebuah "Sudan Baru" yang sesuai dengan pandangan mereka.
Selama lebih dari dua dekade, SPLM menjadi momok bagi kekuasaan di Khartoum, melancarkan perjuangan bersenjata yang brutal dan memakan korban jutaan jiwa. Perang saudara ini bukanlah sekadar pemberontakan, melainkan bagian dari ambisi global untuk menggangu stabilitas keamanan Sudan dengan bantuan Ethiopia yang menjadi rival Sudan dalam perebutan pengaruh di Laut Merah.
Di bawah kepemimpinan Garang, perjuangan mereka menarik perhatian dunia, memaksa Khartoum untuk mencari jalan damai.
Puncaknya terjadi pada tahun 2005, ketika Perjanjian Damai Komprehensif (CPA) ditandatangani. Kesepakatan ini mengakhiri perang saudara dan membuka jalan bagi masa transisi yang krusial.
Sebagai bagian dari perjanjian bersejarah itu, John Garang ditunjuk sebagai Wakil Presiden Pertama Sudan, sebuah ironi yang luar biasa bagi seorang pemimpin pemberontak yang kemudian duduk di kursi kekuasaan.
Namun, keberadaan SPLM di pemerintahan pusat tak bertahan lama. Tragedi menghantam pada Juli 2005 ketika Garang tewas dalam kecelakaan helikopter, hanya beberapa minggu setelah menjabat. Kematiannya menjadi pukulan telak bagi visi "Sudan Baru" yang bersatu.
Meskipun demikian, perjanjian CPA tetap berjalan, dengan ketentuan yang paling krusial adalah hak rakyat Sudan Selatan untuk menggelar referendum penentuan nasib sendiri.
Pada tahun 2011, referendum itu pun dilaksanakan, dan hasilnya adalah suara bulat untuk kemerdekaan. Dengan berdirinya negara baru Republik Sudan Selatan, SPLM yang dipimpin oleh penerus Garang, Salva Kiir, bertransformasi menjadi partai berkuasa dan tentara nasional negara tersebut. Mimpi "Sudan Baru" yang bersatu oleh Garang telah tergantikan dengan realitas dua negara yang terpisah.
Sayangnya, tak semua anggota SPLM disertakan dalam perjanjian damai tersebut. Cabang utara SPLM, yang beroperasi di wilayah Kordofan Selatan dan Blue Nile, merasa dikhianati dan ditinggalkan. Mereka tidak diikutsertakan dalam referendum, dan status mereka sebagai warga negara Sudan pun tidak diakomodasi secara memadai oleh Khartoum.
Perasaan ketidakadilan ini memicu bangkitnya kembali perjuangan bersenjata di wilayah tersebut. Gerakan baru, yang dikenal sebagai SPLM-N (Sudan People's Liberation Movement-North), melanjutkan perjuangan mereka untuk mengobok-obok pemerintah Khartoum.
Seiring berjalannya waktu, gerakan SPLM-N ini pun terpecah menjadi dua faksi utama, mencerminkan keretakan dalam tubuh gerakan itu sendiri. Faksi pertama dipimpin oleh Malik Agar, seorang tokoh veteran yang percaya pada jalur negosiasi. Faksi kedua dipimpin oleh Abdelaziz al-Hilu, yang lebih bersikukuh pada tuntutan yang lebih radikal, termasuk pembentukan negara sekuler dan pemisahan tentara dari politik.
Setelah bertahun-tahun pertempuran, faksi Malik Agar akhirnya mencapai kesepakatan damai dengan pemerintah Sudan yang didukung militer. Perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Damai Juba 2020 ini, menjadi puncak dari perjuangan mereka, mengakhiri konflik dan membuka jalan bagi partisipasi politik.
Sebagai imbalannya, Malik Agar kembali mengulang sejarah John Garang. Ia mendapatkan posisi kunci dalam pemerintahan transisi yang berbasis di Khartoum. Pada Mei 2023, di tengah berkobarnya perang saudara antara militer Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), Malik Agar diangkat sebagai Wakil Ketua Dewan Kedaulatan Transisi.
Dengan jabatan ini, Malik Agar secara efektif menjadi wakil dari kekuasaan yang kini dipegang oleh Panglima Militer Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Ironi kembali terulang: seorang mantan pemberontak yang dulunya berjuang untuk menggulingkan rezim kini duduk di jajaran kekuasaan tertinggi di Khartoum.
Namun, tidak demikian halnya dengan faksi lain. Faksi Abdelaziz al-Hilu menolak perjanjian damai tersebut karena mereka merasa tuntutan mendasar mereka, terutama tentang sekularisme, tidak dipenuhi. Mereka tetap bersikeras bahwa tidak ada perdamaian sejati jika kemauan mereka tak diikuti.
Akibatnya, faksi al-Hilu mempertahankan statusnya sebagai kekuatan bersenjata independen yang beroperasi di Kordofan Selatan dan Blue Nile. Mereka tetap menguasai wilayah-wilayah yang luas, membangun struktur pemerintahan dan militer mereka sendiri.
Dalam perkembangan terbaru, faksi al-Hilu telah membentuk aliansi taktis dengan musuh utama pemerintah, yaitu Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pimpinan Jenderal "Hemedti." Aliansi ini membuat faksi al-Hilu menjadi bagian dari kubu yang berlawanan dengan pemerintahan tempat Malik Agar berada.
Saat ini dia memegang jabatan resmi sebagai "wakil presiden paralel," sebuah pemerintahan pararel yang didirikan oleh RSF di Nyala. Posisi Abdelaziz al-Hilu dan pasukannya dalam aliansi dengan RSF menjadikannya sosok kunci dalam struktur kekuasaan de-facto yang kini mengendalikan sebagian wilayah Sudan.
Aliansi ini disebut memiliki markas operasional dan negosiasi di beberapa wilayah, termasuk Nyala, ibu kota Darfur Selatan, yang kini menjadi pusat pemerintahan RSF.
Dengan demikian, SPLM-N telah terpecah dan kini secara efektif mewakili dua kutub kekuasaan yang berbeda di Sudan: satu di kursi pemerintahan resmi di Khartoum, dan satu lagi di dalam aliansi pemerintahan paralel yang menantang otoritas pusat. Ini adalah cerminan dari betapa terpecahnya peta politik di Sudan saat ini.
Perbedaan dengan Gerakan SLA
Untuk memahami konteks yang lebih luas, penting untuk membedakan SPLM-N dengan Tentara Pembebasan Sudan (SLA). Meskipun keduanya adalah kelompok pemberontak yang menentang pemerintah di Khartoum, asal-usul, tujuan, dan wilayah operasi mereka sangat berbeda.
SLA adalah gerakan pemberontak yang muncul dari wilayah Darfur, di bagian barat Sudan. Gerakan ini dibentuk sebagai respons langsung terhadap marginalisasi etnis dan politik yang dialami oleh masyarakat non-Arab di Darfur, yang merasa terpinggirkan dari pembangunan ekonomi dan kekuasaan.
SLA berjuang untuk menuntut keadilan, perlindungan, dan pembagian kekuasaan yang lebih adil di tingkat regional Darfur. Tujuan mereka lebih terfokus pada masalah-masalah lokal di Darfur, seperti konflik lahan dan partisipasi politik, berbeda dengan visi SPLM yang lebih luas tentang reformasi nasional untuk seluruh Sudan. Namun baik SPLM dan SLA merupakan dua kekuatan yang didukung asing untuk secara bersama di lain tempat 'memping-pong' Khàrtoum.
Pada akhirnya, SPLM, yang dimulai dengan mimpi 'bersatunya Sudan', justru berakhir dengan melahirkan dua entitas politik yang terpisah di tengah konflik yang membelah negara itu menjadi dua kubu, setelah sebelumnya sukses membelah Sudan Selatan.
Perjalanan mereka dari pemberontak menjadi wakil penguasa, di satu sisi, dan pemimpin oposisi yang beraliansi dengan milisi lain, di sisi lain, adalah gambaran nyata dari betapa rapuhnya perdamaian dan pemerintahan di Sudan, yang mudah diobok-obok pihak luar menggunakan tangan orang dalam.
SLA, sebagai gerakan pemberontak dari Darfur, bukanlah satu kesatuan yang utuh, melainkan terpecah menjadi beberapa faksi yang berbeda. Perpecahan ini semakin kentara sejak pecahnya perang antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pada April 2023. Sebagian faksi SLA kini secara terbuka mendukung satu pihak, sementara yang lain memilih untuk tetap independen, mencerminkan kerumitan aliansi di tengah konflik yang memburuk.
Salah satu faksi terbesar, yang dipimpin oleh Minni Minawi (SLA/MM), secara tegas menyatakan dukungannya untuk Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) yang dipimpin oleh Jenderal al-Burhan.
Dukungan ini berakar pada Perjanjian Damai Juba 2020, di mana faksi SLA/MM menjadi penandatangan utama dan mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan transisi. Oleh karena itu, ketika perang pecah, Minawi menganggap SAF sebagai satu-satunya otoritas yang sah dan mengerahkan pasukannya untuk bertempur di samping mereka, khususnya di Darfur, melawan RSF.
Di sisi lain, faksi besar lainnya yang dipimpin oleh Abdel Wahid al-Nur (SLA/AW), memilih untuk tetap mandiri dan netral. Dia mendirikan 'negara mini' sendiri di Jebel Marrah.
Faksi ini tidak pernah menandatangani perjanjian damai apapun dengan pemerintah Khartoum dan karenanya tidak terikat dengan salah satu pihak yang bertikai. Al-Nur menyatakan bahwa prioritasnya adalah melindungi warga sipil di wilayah Darfur dan tidak ingin terlibat dalam perang kekuasaan antara dua jenderal. Posisi netral ini membuatnya tidak memiliki sekutu yang jelas dan sering kali mendapat kecurigaan dari kedua belah pihak.
Meskipun faksi Minni Minawi secara resmi berada di kubu pro-SAF, ada laporan yang mengindikasikan bahwa beberapa faksi kecil SLA lainnya, atau bahkan mantan anggota, bisa saja beraliansi dengan RSF. Pasukan Dukungan Cepat (RSF) telah berhasil menarik dukungan dari berbagai milisi Arab di Darfur yang memiliki hubungan rumit dengan kelompok-kelompok pemberontak non-Arab. Namun, secara umum, tidak ada faksi SLA utama yang secara terang-terangan dan formal menyatakan diri pro-RSF.
Secara keseluruhan, faksi-faksi utama SLA terbagi menjadi dua kubu utama: faksi pro-SAF yang dipimpin oleh Minni Minawi, dan faksi independen/mandiri yang dipimpin oleh Abdel Wahid al-Nur. Tidak ada faksi utama yang secara terbuka menyatakan diri sebagai pro-RSF. Perpecahan ini menunjukkan bahwa konflik di Sudan telah mengubah aliansi lama dan memaksa kelompok-kelompok bersenjata untuk menentukan nasib mereka di tengah perang yang mengancam untuk menelan seluruh wilayah.
Perjalanan SPLM di Sudan: Dari Pemberontak ke Pemerintah
Reviewed by Admin2
on
10:22 PM
Rating:







Post a Comment