32 Kesultanan Yaman Bisa Jadi Simbol Persatuan
Kondisi Yaman yang hingga kini masih dirundung konflik politik dan peperangan membuat banyak pihak mencari jalan keluar. Banyak yang memperkirakan bahwa kunci persatuan bangsa ini mungkin justru ada pada warisan masa lalu, yaitu puluhan kerajaan, kesultanan, dan kesyaikhan yang pernah berdiri di wilayah Yaman Selatan sebelum revolusi 1967.
Sebelum pembentukan Republik Demokratik Rakyat Yaman, wilayah selatan Semenanjung Arab itu terdiri dari 32 entitas politik kecil. Ada yang berbentuk kesultanan, kerajaan, hingga kesyaikhan yang menguasai daerah pegunungan, pesisir, hingga padang pasir. Salah satu wilayah yang paling menonjol adalah Hadramaut, tempat berdirinya Kesultanan Kathiri dan Qu’aiti yang punya pengaruh besar di Laut Arab.
Sejak kedatangan Inggris pada abad ke-19, entitas kecil ini dijadikan bagian dari Protektorat Aden. Sebagian bergabung dalam Federation of South Arabia, sebagian lagi tetap berada di luar federasi dalam Protectorate of South Arabia. Namun setelah revolusi 1967, semuanya dilebur dalam sistem republik tanpa menyisakan kedudukan simbolik bagi para raja dan sultan lama.
Kini, di tengah konflik panjang antara berbagai faksi politik dan militer di Yaman, muncul gagasan baru. Bagaimana jika 32 kesultanan lama itu dikembalikan bukan sebagai penguasa politik, melainkan sebagai simbol budaya negara? Ide ini merujuk pada praktik di Malaysia, di mana sembilan sultan masih berfungsi sebagai kepala adat dan budaya, sementara kekuasaan politik tetap di tangan pemerintah terpilih.
Dalam wacana yang berkembang, 32 kesultanan Yaman bisa ditempatkan sebagai dewan kehormatan budaya. Setiap periode tertentu, salah satu sultan atau keturunannya dapat tampil sebagai simbol persatuan nasional. Mereka tidak memiliki wewenang politik praktis, tetapi menjadi ikon kultural yang melambangkan keberagaman sejarah Yaman.
Langkah ini dianggap dapat mengurangi deadlock politik yang selama ini mendera. Ketika kelompok-kelompok politik dan militer berebut pengaruh, posisi simbolik para keturunan sultan bisa menjadi penengah. Mereka dipandang sebagai figur tradisional yang dihormati lintas suku, tanpa keterlibatan langsung dalam perebutan kekuasaan.
Hadramaut, dengan tradisi panjang migrasi dan diaspora ke Asia Tenggara dan Afrika Timur, bisa menjadi contoh bagaimana warisan budaya digunakan sebagai perekat. Keturunan sultan Qu’aiti dan Kathiri masih dikenal di luar negeri, dan keberadaan mereka bisa menjadi jembatan diplomasi kultural bagi Yaman.
Para pengamat menilai, sistem semacam ini bukan berarti Yaman kembali ke monarki. Bentuk republik tetap dipertahankan, dengan presiden dan parlemen yang berfungsi normal. Hanya saja, ada lapisan simbolik tambahan berupa kepala budaya yang dipilih secara bergantian dari 32 kesultanan lama.
Jika diterapkan, sistem ini akan menjadi unik di dunia Arab. Sebab, negara-negara tetangga di Semenanjung lebih banyak berbentuk monarki absolut. Yaman dengan simbol kesultanan bergilir bisa menjadi model baru yang memadukan republik modern dengan penghormatan pada sejarah lokal.
Lebih jauh lagi, pengembalian simbol kesultanan dianggap dapat memberi ruang bagi berbagai lapisan masyarakat untuk berpartisipasi membangun. Masyarakat yang berasal dari suku atau wilayah bekas kesultanan merasa diakui keberadaannya dalam negara modern. Hal ini berpotensi mengurangi perasaan terpinggirkan yang sering kali menjadi sumber konflik.
Dari sisi politik, langkah ini juga dapat mengurangi eksklusivitas kelompok elite. Jika simbol budaya bergilir, maka tidak ada satu kelompok pun yang dominan terlalu lama. Kesetaraan simbolik ini memberi kesempatan bagi semua suku dan daerah untuk tampil di panggung nasional.
Dalam konteks perdamaian, simbol budaya semacam ini bisa berperan sebagai mediator moral. Ketika politik macet, dewan budaya dari keturunan sultan bisa memberi seruan damai yang lebih didengar oleh rakyat, karena mereka dianggap bukan bagian dari konflik politik praktis.
Para peneliti sejarah menyebut bahwa salah satu kesalahan revolusi 1967 adalah memutus total hubungan dengan simbol lama. Hal itu memang menciptakan republik yang modern, tetapi sekaligus menghapus warisan kultural yang selama berabad-abad mengikat masyarakat lokal.
Dengan menghidupkan kembali simbol 32 kesultanan, Yaman punya kesempatan membangun identitas baru yang tidak hanya didasarkan pada ideologi politik, tetapi juga sejarah panjang persaudaraan suku dan daerah. Simbol ini bisa menjadi kekuatan moral di tengah rapuhnya institusi negara.
Sebagian pihak skeptis menyebut bahwa gagasan ini sulit diterapkan karena konflik Yaman saat ini sudah terlalu dalam. Namun, sejarah menunjukkan bahwa negara-negara yang berhasil keluar dari krisis biasanya menemukan jalan lewat rekonsiliasi budaya, bukan sekadar politik.
Malaysia sering dijadikan contoh bagaimana simbol tradisional dipertahankan, tetapi diadaptasi untuk republik modern. Meskipun berbeda konteks, Yaman bisa belajar bahwa sistem politik yang menghormati sejarah lokal justru lebih stabil dalam jangka panjang.
Bagi rakyat Yaman, kehadiran simbol kesultanan bisa memberi harapan baru. Mereka bukan hanya mendengar suara politisi atau komandan militer, tetapi juga pesan dari tokoh tradisional yang mengingatkan tentang persatuan dan kebersamaan.
Dalam jangka panjang, gagasan ini bisa menumbuhkan identitas nasional yang lebih inklusif. Tidak ada lagi perbedaan tajam antara utara dan selatan, atau antara kelompok agama tertentu. Sebab, 32 simbol budaya berasal dari berbagai penjuru negeri, mewakili seluruh keragaman Yaman.
Wacana ini memang masih berupa gagasan di kalangan terbatas, tetapi semakin sering dibicarakan. Jika kelak pemerintah Yaman berani mengambil langkah ini, dunia bisa menyaksikan lahirnya sistem politik yang unik: sebuah republik modern dengan 32 simbol budaya bergilir, menjadi model perdamaian baru di Timur Tengah.
32 Kesultanan Yaman Bisa Jadi Simbol Persatuan
Reviewed by Admin2
on
7:33 AM
Rating:







Post a Comment