Jejak Kasta di Pulau Seribu Masjid dan Dewata: Pengaruhnya Kini dan Dulu
Denyut kehidupan di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bali, dua provinsi bertetangga yang kaya akan keanekaragaman budaya, menyimpan jejak sistem pelapisan sosial yang menarik untuk ditelisik. Jika Bali dikenal luas dengan sistem kasta Hindu-nya, Lombok, dengan mayoritas penduduk suku Sasak, memiliki dinamika sosial tersendiri yang dipengaruhi oleh warisan Hindu dan kemudian Islam. Artikel ini akan mengupas pengaruh sistem kasta di kedua pulau tersebut, merangkai benang merah antara tradisi Hindu Bali, struktur sosial Sasak, serta dinamika masyarakat suku-suku lain di NTB.
Di Bali, sistem kasta atau catur warna telah mengakar kuat dalam struktur masyarakat Hindu. Empat tingkatan utama, Brahmana (pendeta), Ksatria (bangsawan dan prajurit), Waisya (pedagang dan petani), dan Sudra (pekerja kasar), secara tradisional mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari ritual keagamaan hingga interaksi sosial sehari-hari. Meskipun modernitas membawa perubahan, pengaruh kasta masih terasa dalam pemilihan upacara adat, perkawinan, dan bahkan dalam interaksi sosial di tingkat komunitas.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa implementasi sistem kasta di Bali mengalami adaptasi dan tidak sepenuhnya identik dengan sistem yang berlaku di India. Fleksibilitas dan mobilitas sosial tetap ada, meskipun batasan-batasan tertentu masih dihormati. Peran tokoh agama dan pemimpin adat sangat penting dalam menjaga keseimbangan dan harmoni di tengah keberagaman kasta.
Bergeser ke Lombok, masyarakat suku Sasak memiliki sistem pelapisan sosial yang dikenal dengan istilah "bangse".
Meskipun tidak seketat sistem kasta di Bali, hierarki sosial ini tetap mewarnai interaksi masyarakat Sasak pada masa lalu. Golongan Datu/Raden/Lalu (laki-laki) dan Dende/Baiq/Lale (perempuan) dianggap sebagai keturunan bangsawan, menempati posisi terhormat dalam struktur sosial. Di bawahnya terdapat golongan Pemenak, yang merupakan kerabat bangsawan.
Masyarakat biasa dikenal dengan sebutan Bapak/Ama, sementara golongan Jajar Karang seringkali dianggap sebagai lapisan sosial yang paling bawah. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam golongan Jajar Karang tidak terdapat nama "kasta" spesifik, melainkan sebutan umum berdasarkan status pernikahan dan kepemilikan anak, seperti Bapak/Amaq dan Inaq. Untuk perempuan yang belum menikah dari golongan ini, sebutan yang umum adalah Dedare.
Lebih mendalam mengenai Bali, penggunaan nama dan gelar seringkali menjadi penanda kasta seseorang. Gelar seperti Ida Bagus dan Ida Ayu secara eksklusif digunakan oleh keturunan Brahmana, kasta tertinggi dalam hierarki Hindu Bali. Gelar ini menunjukkan garis keturunan pendeta dan memiliki implikasi penting dalam ritual keagamaan serta kehidupan sosial. Keturunan Brahmana memiliki kewajiban dan kehormatan tersendiri dalam menjalankan tradisi agama.
Selanjutnya, kasta Ksatria dan Waisya memiliki beragam gelar kebangsawanan. Gelar seperti Anak Agung, Gusti, dan Dewa seringkali melekat pada nama individu yang berasal dari lapisan Ksatria.
Sementara itu, gelar seperti Gusti Bagus atau Gusti Ayu dapat ditemukan pada keturunan Waisya. Penggunaan gelar-gelar ini tidak hanya sebagai penanda silsilah, tetapi juga membawa implikasi dalam tata krama pergaulan dan partisipasi dalam upacara adat.
Di sisi lain, bagi sebagian besar masyarakat Bali yang termasuk dalam kasta Sudra, penamaan biasanya lebih sederhana. Nama-nama seperti Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut umum digunakan dan menunjukkan urutan kelahiran anak dalam keluarga. Wayan atau Putu untuk anak pertama, Made atau Nengah untuk anak kedua, Nyoman atau Komang untuk anak ketiga, dan Ketut untuk anak keempat. Setelah anak keempat, siklus nama ini dapat berulang.
Meskipun penamaan berdasarkan urutan kelahiran ini paling umum dijumpai pada kasta Sudra, terkadang variasi atau penambahan gelar kehormatan juga dapat diberikan seiring dengan pencapaian atau status sosial individu. Namun, secara tradisional, penamaan berdasarkan urutan kelahiran menjadi ciri khas yang membedakan sebagian besar anggota kasta Sudra dari kasta-kasta yang lebih tinggi dengan gelar kebangsawanan yang lebih spesifik.
Masuknya Islam ke Lombok membawa perubahan signifikan dalam struktur sosial Sasak. Ajaran Islam yang menekankan kesetaraan di hadapan Tuhan secara bertahap mengurangi pengaruh sistem "bangse". Meskipun demikian, jejak-jejak stratifikasi sosial masih dapat ditemukan dalam beberapa tradisi dan upacara adat, terutama yang melibatkan tokoh-tokoh dengan garis keturunan terhormat.
Selain suku Sasak, NTB juga dihuni oleh suku-suku lain seperti Mbojo di Bima dan Dompu, serta berbagai komunitas minoritas lainnya. Masing-masing suku memiliki sistem sosial dan tradisi unik. Di Bima dan Dompu, misalnya, terdapat struktur kesultanan pada masa lalu yang juga memengaruhi pelapisan sosial masyarakatnya. Meskipun sistem kesultanan telah упразднен, pengaruhnya masih terasa dalam beberapa aspek kehidupan adat.
Perkembangan zaman, pendidikan, dan interaksi antar budaya semakin mengikis batasan-batasan tradisional dalam sistem pelapisan sosial di NTB dan Bali. Mobilitas sosial menjadi lebih terbuka, dan status seseorang lebih ditentukan oleh pencapaian individu daripada sekadar garis keturunan. Namun, pemahaman akan warisan sosial ini tetap penting untuk menghargai kekayaan budaya dan sejarah kedua pulau.
Di Bali, upacara-upacara keagamaan yang melibatkan berbagai kasta masih menjadi pemandangan umum, menunjukkan bahwa tradisi leluhur tetap dihormati. Sementara di Lombok, meskipun sistem "bangse" tidak lagi mendominasi kehidupan sehari-hari, penghormatan terhadap tokoh-tokoh dengan latar belakang terhormat masih terlihat dalam acara-acara adat dan musyawarah masyarakat.
Interaksi antara masyarakat Bali dan Sasak juga turut memengaruhi dinamika sosial di kedua pulau. Perdagangan, perkawinan antar etnis, dan pertukaran budaya secara tidak langsung melonggarkan batasan-batasan tradisional. Namun, pemahaman dan kepekaan terhadap perbedaan latar belakang sosial tetap diperlukan untuk menjaga harmoni dalam interaksi antar masyarakat.
Pemerintah daerah dan berbagai organisasi masyarakat sipil di NTB dan Bali terus berupaya untuk mendorong kesetaraan dan menghilangkan diskriminasi berbasis latar belakang sosial. Pendidikan dan pemberdayaan ekonomi menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil.
Meskipun jejak sistem pelapisan sosial masih terasa, masyarakat NTB dan Bali terus bergerak maju, mengedepankan nilai-nilai persatuan dan kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kekayaan budaya dan tradisi menjadi modal berharga untuk membangun masa depan yang lebih baik, di mana setiap individu dihargai berdasarkan potensi dan kontribusinya, bukan semata-mata karena garis keturunannya.
Dengan memahami akar sejarah dan dinamika sosial yang terjadi, kita dapat lebih mengapresiasi kompleksitas dan kekayaan budaya Nusa Tenggara Barat dan Bali. Perjalanan panjang kedua pulau ini menunjukkan bagaimana tradisi dan modernitas berinteraksi, membentuk masyarakat yang unik dan terus berkembang. Warisan masa lalu menjadi pelajaran berharga untuk membangun masa depan yang lebih egaliter dan harmonis bagi seluruh masyarakat.
Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang pengaruh sistem kasta di Bali dan "bangse" di Lombok, serta dinamika sosial suku-suku lain di NTB, menjadi penting bagi upaya pelestarian budaya dan pembangunan masyarakat yang inklusif. Kisah tentang jejak-jejak stratifikasi sosial ini adalah bagian tak terpisahkan dari mozaik budaya Indonesia yang kaya dan beragam.
Dibuat oleh AI, lihat info lain
Jejak Kasta di Pulau Seribu Masjid dan Dewata: Pengaruhnya Kini dan Dulu
Reviewed by Admin2
on
8:15 AM
Rating:







Post a Comment